Friday, June 29, 2012

Indonesian Agriculture History


Indonesia, dahulu dikenal dengan julukan Negara agraris. Hal ini, semata – mata bukan karena tanah Indonesia yang kaya dan sangat cocok untuk pertanian, dengan dukungan iklim yang tropis dan tipe tanah yang cocok untuk bertani, tetapi hal ini dikarenakan banyaknya jumlah rakyat Indonesia yang memilih untuk bertani, baik bertani padi, jagung, maupun produk lainnya. Pada saat itu, tepatnya saat Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1984 sebagai Negara agraris, hasil pertaniannya terutama padi dapat mencapai tingkat swasembada pangan, atau produksi beras melebihi tingkat konsumsi rakyat Indonesia. Sehingga meningkatkan kebanggan dan kesejahteraan rakyat, yang disebabkan karena murahnya harga beras dipasaran. Walaupun ada beberapa kontroversi mengenai keaslian data ini, dikarenakan saat itu Indonesia masih melakukan impor beras sebesar 414.300 ton beras (Hermas Effendi Prabowo, Kompas), ini tidak menyebabkan FAO (Food and Agrikulture Organization), memberi penghormatan kepada presiden kala itu, Presiden Soeharto.
Setelah tahun 1984, produksi mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Dan titik terparahnya adalah saat tahun 1999, Indonesia harus mengimpor 4.183 ton beras. Walaupun ditahun 2008, Indonesia mencapai swasembada pangan. Tetap saja hal ini sangat disayangkan sekali mengingat potensi Indonesia sebagai Negara penghasil beras sangat tinggi. Selain beras pun, produk pertanian yang lainnya juga mengalami fluktuasi produksinya, terutama pada hasil pertanian yang berupa sayuran.
Berdasarkan hasil penelitian dan statistika FAO di tahun 2010, didapati bahwa produksi cabai, lada mengalami penurunan lebih dari 40.000 ton dibanding tahun 2009. Sedangkan untuk sayuran mengalami penurunan sebesar lebih dari 7.000 ton. Seperti yang disajikan oleh Tabel 1 dibawah. Walaupun banyak faktor yang menyebabkan hal ini, seperti kemarau dan hama, penurunan luas lahan pertanian yang semakin drastis karena digantikan dengan perumahan dan gedung bertingkat, adalah yang menjadi momok masyarakat saat ini.
Kenaikan harga cabai, pada awal tahun 2011 menjadi bukti bahwa sistem pertanian yang menyangkut kepada harga pupuk, harga bibit, kondisi cuaca yang menyebabkan beberapa daerah gagal panen, dan ulah para tengkulak, semakin memperburuk kondisi pertanian di Indonesia. Pada saat itu, harga cabai melambung dua kali lipat hingga Rp.100.000,- per kilogramnya. Sedangkan harga beli para tengkulak tersebut dari petani tersebut, menurut observasi yang dilakukan di Cibodas pada bulan Mei 2011, hanya Rp. 20.000,- per kilogramnya.
Kenaikan harga, yang diakibatkan karena kelangkaan atau gagal panen suatu produk pertanian semacam itu, seharusnya tidak perlu terjadi, mengingat banyak daerah lain yang dapat menutup kekurangan pasokan daerah yang terjadi kelangkaan. Tetapi, karena harga awal hasil pertanian dan alur distribusinya ditentukan oleh para tengkulak, harga dapat berubah naik atau turun tergantung keinginan mereka, dan berdasarkan analisa resiko yang mereka lakukan.
Kenaikan seperti ini, merupakan bencana bagi rakyat yang tingkat ekonominya rendah, karena kenaikan suatu produk pertanian dapat berimbas kepada naiknya harga benda maupun produk yang terkait. Misalnya dengan kenaikan harga cabai, maka yang dapat terkena imbasnya adalah para restoran atau rumah makan yang mengunggulkan produk makanan mereka yang mengutamakan kepedasan dari makanan tersebut.
Padahal, swasembada beras pada tahun 2008 yang dibanggakan pemerintah, tidak dapat mengatasi krisis pangan di daerah NTT, yang menyebabkan banyaknya penderita busung lapar. Jika kita hubungkan dengan peristiwa kelangkaan dan manipulasi stok barang atau produk pertanian yang dilakukan beberapa oknum, dapat menyebabkan bencana kelaparan ataupun ketidakstabilan harga dimana – mana.
Hal ini sangat disayangkan, mengingat Negara Indonesia yang berasaskan Pancasila, yang mengutamakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Jika pemerintah daerah mulai ikut mengawasi dan memantau alurnya, maka kejadian kelangkaan dan kenaikan harga yang tinggi tentu tidak perlu terjadi. Belum lagi, jika fungsi dari setiap KUD (Koperasi Unit Desa) dapat dioptimalkan dan diaktifkan kembali.
Kestabilan harga yang diinginkan akan dapat terjadi, dengan pemaksimalan setiap agen pemerintahan dan petani itu sendiri, sebagai pengendali harga dan peningkat nilai jual dari suatu produk pertanian. Dan dengan koordinasi serta perencanaan alur material yang jelas, beserta analisis resiko yang menyeluruh, maka kemungkinan produk pertanian yang cenderung mudah busuk seperti selada dan tomat dapat diminimalisir. Dan akibatnya, jelas didapat keuntungan yang maksimal pula.
Tetapi masalah lainnya pun muncul. Ketika suatu alur sistem telah diperbaiki, sedangkan motor penggeraknya tidak ada, maka kemacetan dan ketidakstabilan pun kembali terjadi. Inilah yang terjadi di sektor pertanian Negara ini. Dimana generasi muda yang nantinya akan melanjutnya tradisi atau budaya bertani ini, mulai kehilangan minatnya dan tentu mulai bergeserlah kebudayaan bertani tersebut menjadi kebudayaan menjadi buruh pabrik yang jelas tiap bulannya mendapatkan gaji sesuai UMR (Upah Minimum Regional), ataupun menjadi kebudayaan berdagang yang jelas memiliki skala resiko lebih kecil dibandingkan bertani.
Perubahan budaya ini jelas terlihat, dimana beberapa daerah industri seperti Bekasi, Karawang dan Cikarang, menjadi tujuan utama bagi pemuda maupun  pemudi yang ingin berurbanisasi. Peristiwa ini didominasi, para lulusan SMA atau yang sederajat yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Dan jelas pula, bahwa daerah Bekasi dan Karawang yang dahulu menjadi penghasil beras tertinggi mulai bergeser menjadi daerah industri.
Hal ini menjadi sangat berlawanan. Ketika tingkat konsumsi masyarakat Indonesia meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduknya, berbanding terbalik dengan luas lahan pertanian dan tingkat ketertarikan pemuda Indonesia di bidang pertanian. Belum lagi persaingan di pasar global yang harus dihadapi produk lokal. Sehingga tidak jarang perang harga yang dilakukan memenangkan pihak asing, yang dapat meningkatkan kegiatan impor yang berimbas kepada matinya produksi lokal.
Kebijakan pemerintah disini, menjadi suatu nilai yang penting untuk menjaga produksi lokal tetap hidup. Jika saja pemerintah mampu menjaga kestabilan arus material dengan metode rantai pasok, yang menyediakan arus material antar daerah dengan segala pengawasannya, maka produksi lokal dapat terus hidup untuk memenuhi pasokan kebutuhan dalam negeri. Dan dengan sedikit stimulant dari pemerintah berupa penaikan harga beli oleh pemerintah kepada petani, maka bukanlah suatu hal yang tidak mungkin bahwa para pemuda akan memilih menjadi petani, yang berarti keseimbangan atau kestabilan produksi pertanian akan kembali. Dan harga sayuran serta bahan pokok lainnya pun mengikuti kestabilannya. Dan jelas sekali ini seperti yang diharapkan para pendiri bangsa ini, yaitu memakmurkan dan mensejahterakan rakyat Indonesia yang tercantum pada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

No comments:

Post a Comment