Indonesia,
dahulu dikenal dengan julukan Negara agraris. Hal ini, semata – mata bukan
karena tanah Indonesia yang kaya dan sangat cocok untuk pertanian, dengan
dukungan iklim yang tropis dan tipe tanah yang cocok untuk bertani, tetapi hal
ini dikarenakan banyaknya jumlah rakyat Indonesia yang memilih untuk bertani, baik
bertani padi, jagung, maupun produk lainnya. Pada saat itu, tepatnya saat
Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1984 sebagai Negara agraris, hasil
pertaniannya terutama padi dapat mencapai tingkat swasembada pangan, atau
produksi beras melebihi tingkat konsumsi rakyat Indonesia. Sehingga meningkatkan
kebanggan dan kesejahteraan rakyat, yang disebabkan karena murahnya harga beras
dipasaran. Walaupun ada beberapa kontroversi mengenai keaslian data ini,
dikarenakan saat itu Indonesia masih melakukan impor beras sebesar 414.300 ton
beras (Hermas Effendi Prabowo, Kompas), ini tidak menyebabkan FAO (Food and
Agrikulture Organization), memberi penghormatan kepada presiden kala itu,
Presiden Soeharto.
Setelah
tahun 1984, produksi mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Dan titik
terparahnya adalah saat tahun 1999, Indonesia harus mengimpor 4.183 ton beras.
Walaupun ditahun 2008, Indonesia mencapai swasembada pangan. Tetap saja hal ini
sangat disayangkan sekali mengingat potensi Indonesia sebagai Negara penghasil
beras sangat tinggi. Selain beras pun, produk pertanian yang lainnya juga
mengalami fluktuasi produksinya, terutama pada hasil pertanian yang berupa
sayuran.
Berdasarkan
hasil penelitian dan statistika FAO di tahun 2010, didapati bahwa produksi
cabai, lada mengalami penurunan lebih dari 40.000 ton dibanding tahun 2009. Sedangkan
untuk sayuran mengalami penurunan sebesar lebih dari 7.000 ton. Seperti yang
disajikan oleh Tabel 1 dibawah. Walaupun banyak faktor yang menyebabkan hal
ini, seperti kemarau dan hama, penurunan luas lahan pertanian yang semakin
drastis karena digantikan dengan perumahan dan gedung bertingkat, adalah yang
menjadi momok masyarakat saat ini.
Kenaikan
harga cabai, pada awal tahun 2011 menjadi bukti bahwa sistem pertanian yang
menyangkut kepada harga pupuk, harga bibit, kondisi cuaca yang menyebabkan beberapa
daerah gagal panen, dan ulah para tengkulak, semakin memperburuk kondisi
pertanian di Indonesia. Pada saat itu, harga cabai melambung dua kali lipat
hingga Rp.100.000,- per kilogramnya. Sedangkan harga beli para tengkulak
tersebut dari petani tersebut, menurut observasi yang dilakukan di Cibodas pada
bulan Mei 2011, hanya Rp. 20.000,- per kilogramnya.
Kenaikan
harga, yang diakibatkan karena kelangkaan atau gagal panen suatu produk
pertanian semacam itu, seharusnya tidak perlu terjadi, mengingat banyak daerah
lain yang dapat menutup kekurangan pasokan daerah yang terjadi kelangkaan.
Tetapi, karena harga awal hasil pertanian dan alur distribusinya ditentukan
oleh para tengkulak, harga dapat berubah naik atau turun tergantung keinginan
mereka, dan berdasarkan analisa resiko yang mereka lakukan.
Kenaikan
seperti ini, merupakan bencana bagi rakyat yang tingkat ekonominya rendah,
karena kenaikan suatu produk pertanian dapat berimbas kepada naiknya harga
benda maupun produk yang terkait. Misalnya dengan kenaikan harga cabai, maka
yang dapat terkena imbasnya adalah para restoran atau rumah makan yang
mengunggulkan produk makanan mereka yang mengutamakan kepedasan dari makanan
tersebut.
Padahal,
swasembada beras pada tahun 2008 yang dibanggakan pemerintah, tidak dapat
mengatasi krisis pangan di daerah NTT, yang menyebabkan banyaknya penderita
busung lapar. Jika kita hubungkan dengan peristiwa kelangkaan dan manipulasi
stok barang atau produk pertanian yang dilakukan beberapa oknum, dapat
menyebabkan bencana kelaparan ataupun ketidakstabilan harga dimana – mana.
Hal
ini sangat disayangkan, mengingat Negara Indonesia yang berasaskan Pancasila,
yang mengutamakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Jika pemerintah
daerah mulai ikut mengawasi dan memantau alurnya, maka kejadian kelangkaan dan
kenaikan harga yang tinggi tentu tidak perlu terjadi. Belum lagi, jika fungsi
dari setiap KUD (Koperasi Unit Desa) dapat dioptimalkan dan diaktifkan kembali.
Kestabilan
harga yang diinginkan akan dapat terjadi, dengan pemaksimalan setiap agen
pemerintahan dan petani itu sendiri, sebagai pengendali harga dan peningkat
nilai jual dari suatu produk pertanian. Dan dengan koordinasi serta perencanaan
alur material yang jelas, beserta analisis resiko yang menyeluruh, maka
kemungkinan produk pertanian yang cenderung mudah busuk seperti selada dan
tomat dapat diminimalisir. Dan akibatnya, jelas didapat keuntungan yang
maksimal pula.
Tetapi
masalah lainnya pun muncul. Ketika suatu alur sistem telah diperbaiki,
sedangkan motor penggeraknya tidak ada, maka kemacetan dan ketidakstabilan pun
kembali terjadi. Inilah yang terjadi di sektor pertanian Negara ini. Dimana
generasi muda yang nantinya akan melanjutnya tradisi atau budaya bertani ini,
mulai kehilangan minatnya dan tentu mulai bergeserlah kebudayaan bertani
tersebut menjadi kebudayaan menjadi buruh pabrik yang jelas tiap bulannya
mendapatkan gaji sesuai UMR (Upah Minimum Regional), ataupun menjadi kebudayaan
berdagang yang jelas memiliki skala resiko lebih kecil dibandingkan bertani.
Perubahan
budaya ini jelas terlihat, dimana beberapa daerah industri seperti Bekasi,
Karawang dan Cikarang, menjadi tujuan utama bagi pemuda maupun pemudi yang ingin berurbanisasi. Peristiwa
ini didominasi, para lulusan SMA atau yang sederajat yang tidak melanjutkan ke
jenjang pendidikan selanjutnya. Dan jelas pula, bahwa daerah Bekasi dan
Karawang yang dahulu menjadi penghasil beras tertinggi mulai bergeser menjadi
daerah industri.
Hal
ini menjadi sangat berlawanan. Ketika tingkat konsumsi masyarakat Indonesia
meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduknya, berbanding terbalik
dengan luas lahan pertanian dan tingkat ketertarikan pemuda Indonesia di bidang
pertanian. Belum lagi persaingan di pasar global yang harus dihadapi produk
lokal. Sehingga tidak jarang perang harga yang dilakukan memenangkan pihak
asing, yang dapat meningkatkan kegiatan impor yang berimbas kepada matinya
produksi lokal.
Kebijakan
pemerintah disini, menjadi suatu nilai yang penting untuk menjaga produksi
lokal tetap hidup. Jika saja pemerintah mampu menjaga kestabilan arus material
dengan metode rantai pasok, yang menyediakan arus material antar daerah dengan
segala pengawasannya, maka produksi lokal dapat terus hidup untuk memenuhi
pasokan kebutuhan dalam negeri. Dan dengan sedikit stimulant dari pemerintah
berupa penaikan harga beli oleh pemerintah kepada petani, maka bukanlah suatu
hal yang tidak mungkin bahwa para pemuda akan memilih menjadi petani, yang
berarti keseimbangan atau kestabilan produksi pertanian akan kembali. Dan harga
sayuran serta bahan pokok lainnya pun mengikuti kestabilannya. Dan jelas sekali
ini seperti yang diharapkan para pendiri bangsa ini, yaitu memakmurkan dan
mensejahterakan rakyat Indonesia yang tercantum pada Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945.